Senin, 18 Juli 2016

Memahami Lebih Ekaristi

       Malam Paskah 2016 menjadi malam Paskah yang selalu dinanti-nanti umat katholik seluruh dunia, termasuk saya. Walau saya merasa kurang fit sejak Kamis putih, tapi saya bersemangat menyambutnya, bahkan ketika satu setengah jam sebelum berangkat saya merasa mual dan muntah-muntah,  saya tetap yakin saya dalam kondisi sehat dan baik-baik saja untuk mengikuti misa. Dalam pikiran saya waktu itu, mana mungkin saya sakit sepanjang misa, mengingat dalam sejarah saya belum pernah mengeluh sakit di depan umum, mengalami pingsan, atau harus ke unit kesehatan, jadi sekali lagi tidak mungkin saya sakit saat misa nanti. Namun ternyata diri saya yang sok-sok an ini "ditampar" Tuhan. Sampai satu jam sebelum misa saya merasa sehat, tapi tepat saat misa dimulai, dimana lampu dimatikan dan umat berdiri, bahkan romo juga belum memasuki altar, dan itu  baru kisaran 5 menitan saya sudah tidak kuat berdiri, perut mual, merasa dingin, badan tidak karu-karuan. Akhirnya saya putuskan untuk mencari obat dan teh panas di P3k walau harus mampir dulu ke kamar mandi dan muntah-muntah disana.
       Berada sendirian di ruang P3k dengan suara misa Paskah di balik tembok membuat saya beberapakali hampir menangis, sedih, dan rasanya sayang sekali saya tidak bisa mengikuti, padahal hanya dengan membuka pintu barat saja saya bisa mengikutinya. Kadang-kadang ada orang yang masuk P3k untuk mencari sesuatu, kadang hanya menengok sambil menyapa, hingga saya berpikir mereka-mereka ini orang dibalik layar akan terselengaranya sebuah misa, dimana mereka tidak selalu bisa mengikuti kekhitmatan misa 100%. Saya rasa bagi mereka, lancarnya misa jauh lebih penting dibanding keheningan jiwa mereka sendiri.
Saya jadi bertanya dengan diri saya sendiri, bagaimana dengan saya selama ini? Saya ternyata hanya salah seorang umat yang bisanya menggerutu kalau acara misa tidak lancar, yang hanya datang, duduk, mengeluh kalau kalau koornya tidak bagus, soundnya tdak beres, dan apa saja yang saya rasakan yang jelas tidak ada hubungannya dengan tujuan saya datang ke misa itu sendiri, yaitu datang dengan hati kepada Tuhan dalam perayaan ekaristi. Itu saja. Soal pelaksanaan misa, bagaimana seharusnya sudah tidak begitu penting lagi, sehingga sudah sepantasnya jika umatpun menghargai para petugas yang telah "mengorbankan" waktu teduh mereka sendiri demi kenyamanan seluruh umat. 
       Apakah kita  mampu lebih memahami ekaristi secara utuh? Mungkin tidak mudah, tapi dengan belajar menerima ekaristi dengan kelancaran ataupun kekuranglancarannya saya percaya kita semua akan bisa memahami lebih makna ekaristi itu sendiri.
Salam damai Kristus.

Yogya, Maret 2016
kristianaeli@gmail.com