-Lalu Yesus masuk ke bait Allah, dan mulailah Ia mengusir semua pedagang disitu,
kataNya kepada mereka: 'Ada tertulis:
Rumahku adalah rumah doa, tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun.'
(Luk 19-45-46)-
Minggu siang 5 mei 2013, saya mampir ke gua Maria di Gereja Pugeran. Sengaja saya ketempat ini, karena letaknya tidak begitu jauh, dan ada sebuah rosario baru yang saya pakai berdoa yang akan saya berikan kepada seorang sahabat. Dari kejauhan, saya melihat ada dua umat yang ada di area gua. Seorang bapak, dan seorang ibu. Awalnya saya pikir mereka berdoa, ternyata tidak, ternyata mereka tengah memperbincangkan sesuatu sambil bertengkar. Si ibu duduk di kursi plastik luar teras, dan yang paling menggganggu si bapak duduk di dalam teras gua dengan kaki selonjor. Padahal luas gua Maria ini hanya sekitar 4x6m saja. Jadi bisa dibayangkan betapa saya tidak nyaman dengan keberadaan mereka.
Saya sudah menyalakan lilin, mengambil tikar, untuk duduk, dan mempersiapkan Madah Bakti dan rosario. Saya pikir ketika saya mulai membuka Madah Bakti mereka akan mengerti,dan menyudahi pertengkaran tersebut, ternyata tidak, tetap saja mereka bertengkar bahkan dengan suara keras seakan tidak memerdulikan saya.. Bagaimana mungkin saya bisa berdoa dengan suasana seperti ini, lagipula ini adalah area doa, tidak bisakah mereka mencari tempat lain? Ya Tuhan, saya ingin sekali memperingatkan, tapi diri saya diliputi keragu-raguan. Usia mereka sepantaran usia orangtua saya, bisakah mereka menerima teguran saya? Kalaupun saya berani, kata-kata seperti apa yang harus saya sampaikan tanpa menyinggung perasaan mereka? Tapi jika saya diam saja, saya jelas tidak sanggup untuk berdoa. Akhirnya dengan menggela nafas panjang, mengucap nama Gusti Allah, saya mantap menegur, "Bapak ibu, nuwun sewu, kulo badhe sembayang, nuwun sewu," (Bapak ibu permisi/maaf saya mau berdoa). Kata-kata itu spontan terlontar dari mulut saya, dengan intonasi pelan dan dengan bahasa santun. Saya bisa melihat ekspresi kaget dari mereka berdua, mungkin tidak menyangka saya akan "menegur" mereka. Mereka sempat diam sesaat, namun kemudian si ibu bilang, "Monggo..". Dan mereka berdua benar-benar diam, sayapun memulai doa saya, dan saya dengar si ibu dengan berkata pelan mengajak sang bapak untuk mencari tempat lain...
Ah lega sekali...dan tinggallah saya berdua dengan patung Bunda Maria yang tampak sangat cantik dan sebatang lilin menyala yang sesekali bergoyang terkena angin, serta alunan gamelan jawa dari arah dalam gereja (entah sedang ada acara apa..) dan semuanya membuat siang itu terasa sangat teduh...
Ya, kadang kita harus tegas terhadap sesuatu yang menggangu konsentrasi doa kita, apalagi di tempat dimana seharusnya suasana hening itu ada. Tidak mudah memang, tapi saya percaya kekuatan Tuhanlah yang menjadikan saya mampu bersikap tegas utk berani menegur..
Salam teduh...
_________________________________________________________________________________
Gua Maria Pilihan : "Gua Maria Jatingsih Yogyakarta"
Bagi saya, Gua Maria Jatiningsih berada pada tiga urutan atas daftar gua maria favorit saya. Mungkin karena gua maria ini menyuguhkan panorama alam yang memanjakan mata dan telinga. Saya ingat waktu pertama kali berkunjung, dari jauh saat mendekati akhir jalan salib, saya sudah terpesona dengan suara gemericik air, dan semakin jatuh cinta ketika mata ini menatap tebing kali Progo dengan alur airnya yang melengkung, air sungainya yang berkilat2 terkena cahaya matahari, dan dedaunan jati yang membuat semakin adem perasaan, namun yang paling utama adalah patung Yesus dan Maria yang berdiri anggun seakan memberi berkat bagi kami umat yang berdoa dan menyatu dengan alam.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar